Jumat, 09 Mei 2008

Peran Gerakan Pelajar di Usai Reformasi

Moh Mudzakkir
Ketua Umum Pimpinan Pusat Ikatan Remaja Muhammadiyah

Ketika berbicara pergerakan nasional di Indonesia, biasanya orang merujuk pada gerakan-gerakan kemahasiswaan dan luput membicarakan peran gerakan kepelajaran. Padahal, dalam sejarah pergerakan nasional, pelajar juga mempunyai andil cukup strategis dalam proses pembentukan pergerakan nasional.

Pelajar berandil pada era prakemerdekaan, kemerdekaan, orde lama, orde baru, orde reformasi, bahkan hingga era sekarang ini, yaitu era pascareformasi. Kalau kita kembali ke belakang, gerakan pelajar di era prakemerdekaan belum terbentuk secara organik dan masih tergabung dalam wadah gerakan kemahasiswaan atau kepemudaan.

Di era kemerdekaan dan orde lama, mulailah muncul gerakan-gerakan kepelajaran yang bersifat mandiri dan tidak tergabung dalam wadah organisasi kemahasiswaan atau pun kepemudaan. Hal ini bisa kita lihat dengan munculnya Pelajar Islam Indonesia (PII) pada 1947, Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) tahun 1954, Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama pada 1955 dan Ikatan Pelajar Muhammadiyah pada 1961 (berubah menjadi Ikatan Remaja Muhammadiyah pada 1992).

Gerakan pelajar langsung atau tidak langsung telah memberikan kontribusi bagi kelompok sosial pelajar di Indonesia, khususnya pelajar Islam. Gerakan dengan ideologi, tradisi, corak, dan keunikannya masing-masing berkontribusi dalam internalisasi nilai-nilai Islam dan keindonesiaan.

Yang lebih strategis lagi, dari organisasi-organisasi kepelajaran ini sudah terbukti banyak melahirkan tokoh-tokoh penting. Gerakan pelajar tentu tidak hidup dalam ruang sejarah yang hampa karena situasi sosial, ekonomi, politik, agama, pendidikan, budaya, dan bidang lainnya pun berubah.

Belum lagi dengan berbagai persoalan yang menghimpit bangsa Indonesia. Konstelasi problematika yang sedemikian kompleks ini tentu berimplikasi pada positioning yang rumit bagi gerakan pelajar.

Meskipun demikian, gerakan pelajar harus tetap berpartisipasi aktif mengambil peran strategis pada era usai reformasi yang mengalami turbulensi. Gerakan pelajar harus mampu menawarkan gagasan dan aksi-aksi baru yang segar, kritis, visioner, dan transformatif.

Lalu, gagasan dan aksi gerakan yang dimaksud seperti apa? Ini yang harus kita diskusikan bersama.

Gerakan pelajar terlebih dahulu harus memahami bahwa keberadaan mereka karena untuk memperjuangkan kepentingan basis massanya, yaitu pelajar. Untuk mampu menemukannya, gerakan pelajar harus berangkat dari realitas yang dihadapi oleh pelajar.

Mereka tidak bisa berangkat dari daftar keinginan subjektif saja, tapi harus terlebih dahulu membaca secara objektif di lapangan. Yang tepat dalam konteks ini adalah mendialektikan antara subjektivitas dan objektivitas. Ini untuk meminimalisasi eksploitasi oleh elite gerakan pelajar terhadap basis massanya, yaitu menjadikan elite sebagai subjek dan massa sebagai objek.

Gerakan pelajar harus terlibat dan bergumul dengan problematika pelajar. Mereka secara intensif hadir di tengah-tengah pelajar untuk berdiskusi, berdialog, dan mendengarkan aspirasi. Jadi, mereka tak hanya mengajak berpikir kritis tentang persoalan di lingkup sekolah saja, tapi juga tentang kondisi sosial, politik, agama, dan budaya dalam perspektif anak-anak muda.

Dengan media itulah kita akan dapat memahami dan menghayati kegelisahan, harapan, dan suara- suara generasi masa depan Indonesia.

Pelajar menghadapi masalah lemahnya budaya membaca, korban kebijakan pendidikan, objek politik, sasaran budaya konsumerisme dan hedonisme, juga korban kekerasan media. Pelajar sangat rentan menjadi korban dari proses sosial politik.

Program strategis
Ada beberapa program strategis. Pertama, gerakan iqra (membaca). Ini penting karena minat baca mereka sangat rendah. Laporan terbaru dari Programmer for International Student Assessment (PISA) pada 2003 menyatakan dari 40 negara, Indonesia berada pada tingkat terbawah dalam kemampuan membaca.

Kampanye gerakan ini amat penting sebagai jihad peradaban. Kegiatan-kegiatan yang merangsangnya harus terus diciptakan. Gerakan pelajar juga harus mampu membangun aliansi dengan berbagai elemen masyarakat agar masalah tersebut tuntas.

Kedua, melakukan pendidikan politik untuk menyadarkan pelajar sebagai warga negara yang mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan kelompok sosial lainnya. Pelajar mempunyai hak pendidikan (akses pendidikan, perlakuan sama, dilindungi dari kekerasan pendidikan, dan lainnya) dan hak politik (bersuara, berserikat, memilih, dan dipilih).

Pendidikan politik masih relevan dilakukan karena banyak partai politik (parpol) belum serius mendidik mereka. Parpol justru melakukan pembodohan politik dan masih menganggap pelajar sebagai objek.

Pelajar hanya dijadikan penggembira ketika kampanye-kampanye politik. Aspirasi kaum muda (pelajar khususnya) belum secara serius diperjuangkan.

Ketiga, membangun gerakan advokasi pendidikan. Pendidikan adalah dunia yang paling dekat dengan pelajar. Persoalan-persoalan yang terjadi dalam pendidikan sangat berkaitan dengan dunia pelajar.

Akibat ekonomi neoliberalisme, terjadi pengurangan subsidi untuk hajat publik. Salah satunya pengurangan subsidi pendidikan.

Pendidikan pun semakin mahal. Banyak pelajar miskin putus sekolah. Semakin mahalnya pendidikan mengakibatkan banyak rakyat miskin dan tidak dapat mengakses pendidikan. Dalam konteks inilah gerakan pelajar harus berada pada garda terdepan menyuarakan education for all dan realisasi 20 persen APBN untuk pendidikan.

Kasus kekerasan pendidikan juga semakin merebak. Kasus kekerasan beraneka ragam dan pelakunya berbeda-beda. Upaya-upaya advokatif (penyadaran, pendampingan, dan pembelaan) harus dilakukan untuk membabat habis akar-akar kekerasan itu. Gerakan pelajar harus melawan kekerasan tanpa kekerasan.

Keempat, melakukan gerakan budaya tanding (counter culture) terhadap budaya populer yang boros dan hedonis di media, khususnya TV. Banyak tayangan TV tidak mendidik dan mencerahkan, tapi mengajarkan gaya hidup glamor, kekerasan, dan mistik yang menumpulkan akal sehat.

Pelan tapi pasti, sinetron-sinetron yang ada di TV memberikan pengaruh negatif bagi anak-anak muda, khususnya para pelajar. Imitasi pun banyak dilakukan, mulai dari cara berpakaian, makan, minum, berbicara hingga bergaul.

Budaya baca belum tumbuh dan mengakar dalam masyarakat kita, tiba-tiba diserbu budaya visual. Masyarakat pun mengalami lompatan atau bahkan shock culture yang cukup dahsyat.

Melihat hal tersebut, gerakan pelajar harus mengambil inisiatif untuk melakukan perlawanan. Gerakan-gerakan populis untuk menyadarkan masyarakat tentang tontonan yang tidak mendidik harus dilakukan. Misalnya, dengan gerakan satu hari tanpa TV, kampanye tontonan yang sehat, memboikot sinetron-sinetron cabul, porno, horor, dan mistik yang dapat menumpulkan daya pikir.

Sabtu, 10 November 2007

Peran Kaum Intelektual Dalam Perubahan Sosial

James Petras

Pengantar

Membicarakan atau menulis tentang “kaum intelektual” hari ini, kita harus merujuk pada tataran posisi politik. Dari sayap kanan ekstrim (neoliberal-neokonservatif), melewati kanan-tengah (sosial-liberal), lalu menapak pada kiri-tengah (sosial demokrat), hingga berujung pada kiri-revolusioner (Marxis). Di dalam dan di luar kategori politik ini, kita juga memasuki ranah ekologi politik, feminis, gay, ras dan identitas etnik.

Sebagai tambahan, intelektual politik ini berada dalam latar kelembagaan yang berbeda. Beberapa di antaranya adalah pemimpin-pemimpin dalam NGO (organisasi non-pemerintah/LSM), yang lain ditemukan di dunia akademik. Sebagian lainnya berkutat sebagai “intelektual publik,” wartawan, profesor, penasehat-penasehat serikat buruh, pemimpin-pemimpin partai politik, agamawan, dan penulis lepas.

Untuk tujuan paper ini, saya ingin memberikan fokus pada kaum intelektual kiri-tengah (center-left/CL) dan intelektual kiri-revolusioner (revolutionary-left/RL). Kedua kelompok intelektual ini saya pilih, karena keduanya paling mudah dilekatkan dengan proses perubahan sosial yang progresif. Intelektual CL, umumnya bermain dalam latar kelembagaan. Sementara intelektual RL, ditemukan terutama sebagai “intelektual publik” dan di universitas-universitas.

Seperti masa-masa sebelumnya, pembedaan antara intelektual CL dan intelektual RL adalah jauh dari tetap. Sebabnya, gambaran utama intelektual kiri adalah “cair/fluidity” atau “bergerak” di antara identitas politik. Pergeseran terbesar adalah pergeseran dari RL menjadi CL, lantas menjadi kanan-tengah (liberalisme sosial), hingga menjadi neoliberal. Tercatat, beberapa mantan anggota gerilya di kawasan Amerika Latin, yang pada 1960an dan 1970an adalah seorang revolusioner, kini telah menjadi menteri neoliberal, senator, dan wakil rakyat. Mereka kini menjadi pembela militerisme, imperialisme, sektor agribisnis, dan kontra-pemberontakan. Sebaliknya, minoritas yang dianggap sebagai intelektual kanan-tengah, kini bergerak menuju kiri-revolusioner, khususnya setelah dekade 1990an, lebih khusus lagi setelah mereka berumur di atas 50 tahun.

Apapun pergerakan dalam politik dan loyalitas politiknya, kaum intelektual secara relatif memiliki peranan penting dalam politik, khususnya di Amerika latin – di bawah kondisi-kondisi tertentu. Kaum intelektual memang tidak selalu bisa secara langsung mempengaruhi politik massa, mereka juga tidak memimpin atau mengorganisir perjuangan massa, kecuali klaim-klaim dan pretensi-pretensi sebagian dari mereka.

Intelektual menjadi penting karena (1) mempengaruhi pemimpin-pemimpin dan militan-militan partai, gerakan sosial, dan politisasi kelas sosial; (2) melegitimasi dan mempropagandakan secara halus sebuah rejim, kepemimpinan, atau gerakan politik; (3) menyediakan diagnosa atas masalah ekonomi, politik negara, kebijakan, dan strategi-strategi imperialis: (4) menguraikan solusi-solusi, strategi-strategi politik, dan program-program bagi rejim, gerakan, dan para pemimpin; dan (5) mengorganisasi serta berpartisipasi dalam pendidikan politik partai atau aktivis gerakan.

Dalam paper ini, saya ingin fokus pada dan secara kritis membandingkan peran intelektual kiri-tengah (CL) dan intelektual kiri-revolusioner (RL), dalam menyediakan kepada gerakan dan partai sebuah diagnosa dan solusi-solusi politik.

Metode dan Analisis

Diskusi ini akan fokus pada peran intelektual CL dan RL di Amerika Latin, setelah lebih dari 25 tahun. Kita akan fokus pada dua garis pembatas: (a) peran intelektual CL dan intelektual RL dengan merujuk pada beberapa peristiwa penting; dan (b) analisis kritis atas konsep-konsep prinsipiil yang diuraikan oleh intelektual CL dan intelektual RL.

Terdapat empat peristiwa penting yang akan kita diskusikan: (a) “transisi” dari kekuasaan militer ke politisi-politisi sipil yang terpilih melalui pemilu; (b) kebangkitan dari apa yang disebut “gerakan sosial baru/new social movement” pada dekade 1980an (identitas gerakan) dan dekade 1990an (massa tani, pengangguran dan gerakan Indian); (c) kemunculan rejim-rejim “kiri-tengah” yang terpilih melalui pemilu pada milenium baru; dan (d) ekspansi kapital ke seluruh dunia dan peningkatan secara cepat perang imperial.

Konsep, yang dipopulerkan intelektual CL, akan dihadapkan dengan konsep yang digunakan intelektual RL. Ini termasuk diskusi tentang “transisi demokrasi/democratic transition” versus “transisi menuju politik elektoral otoritarian/transition to authoritarian electoral politics”; gerakan sosial baru dengan “basis identitas”/new “identity-based” social movement” versus “gerakan sosial berbasis kelas/class-based social movement”; dan “globalisasi/globalization” versus “imperialisme/imperialism.” Pada bagian akhir paper ini, saya akan mengevaluasi performa intelektual CL dan intelektual RL, dalam pengertian, diagnosis politik mereka, solusi-solusi politik yang ditawarkannya, dan konsekuensinya bagi perubahan sosial.

Intelektual Reformis dan Intelektual Revolusioner: Menguji Peristiwa-peristiwa Kunci

Baiklah kita mulai dari catatan selama periode diskusi (1980-2005), dimana mayoritas terbesar intelektual kiri berada di barisan kaum reformis: kiri-revolusioner pada masa itu dan hingga kini jumlahnya minoritas. Tapi, bukan itu dasar dari paper ini untuk menganalisa dan menjabarkan mengapa kasus ini terjadi. Tujuan saya adalah menganalisis relevansi dan validitas posisi-posisi politik yang diserap kedua kelompok intelektual dimaksud.

Transisi Menuju Demokrasi

Intelektual reformis berpendapat, “transisi menuju demokrasi” ditandai oleh pergeseran kekuasaan dari militer ke politisi sipil hasil pemilu. Menurut mereka, legalisasi partai, kebebasan pers, pemilihan umum, dan kebebasan individual merupakan kondisi yang dibutuhkan untuk kepentingan “demokrasi.” Intelektual kiri-revolusioner mencatat, keberlanjutan struktur kelas, aparatus negara (militer, pengadilan, intelijen, dan bank sentral), model ekonomi, dan pengambilan keputusan oleh lembaga-lembaga keuangan internasional, merupakan penentu utama kebijakan sosio-makroekonomi.

Kaum reformis tidak sulit untuk menerima argumen yang disodorkan oleh kelompok kiri-revolusioner: bahwa struktur yang otoritarian tidak berubah dan mendesakkan pembatasan-pembatasan dalam sistem politik. Tetapi, mereka menilai “perubahan pesat” adalah mungkin dan selanjutnya secara bertahap, akan terjadi keadilan yang lebih besar. Sebaliknya, intelektual revolusioner berpendapat, kerangka kerja politik elektoral berada dalam posisi subordinat dari lembaga-lembaga negara kapitalis dan kelas berkuasa (ruling class), dan secara organik tidak memiliki kapasitas untuk mentransformasikan masyarakat atau bahkan dalam menyebarkan kemakmuran dan meningkatkan standar kehidupan.

Sebuah survey yang lebih detil mengenai 24 tahun politik elektoral di Amerika Latin, menunjukkan, asumsi-asumsi kalangan intelektual CL, bahwa politik elektoral merupakan instrumen bagi perubahan sosial terbukti gagal. Selama seperempat abad, seluruh variasi rejim politik di seluruh Amerika Latin, gagal dalam meningkatkan standar hidup, mendistribusikan kemakmuran, mempromosikan pembangunan nasional, atau menyelesaikan masalah-masalah mendasar seperti perumahan, distribusi tanah, ketersediaan lapangan pekerjaan, dan renasionalisasi ekonomi. Sebaliknya, rejim elektoral menjadi kian tergantung pada negara imperialis dan paket kebijakannya semakin buruk. Kepemilikan tanah semakin terkonsentrasi; perbedaan antara 10 persen teratas dan 50 persen terbawah semakin lebar; sebagian besar perusahaan-perusahaan publik telah diprivatisasi dan didenasionalisasi; dan ratusan miliar dollar dirampas dari buruh dan ditransfer ke bank-bank asing untuk membayar utang luar negeri yang jatuh tempo.

Di semua tempat dan di semua negara, sistem elektoral mengekspresikan karakter kelas yang dominan, yang membuktikan ketepatan analisis kiri-revolusioner. Seluruh “reformis kiri” yang masuk ke dalam rejim, pada akhirnya menghasilkan kebijakan-kebijakan administratif yang buruk, dan mendapat tekanan dari rakyat yang menentangnya. Telah jelas bahwa analisa dan solusi yang dikemukakan intelektual kiri-reformis – transisi demokrasi bermakna politik elektoral akan menyebabkan terjadinya perubahan sosial adalah keliru dan gagal. Sebaliknya, analisis intelektual kiri-revolusioner yang menjelaskan tentang keberlanjutan kekuasaan borjuis dan kapitalis telah membatasi “transisi:” adalah benar dan masuk akal.

Gerakan Sosial Baru

Dalam perkembangan selanjutnya, para intelektual kiri yang terlibat dalam proses elektoral tidak memimpin untuk perubahan sosial. Mereka malah membangun apa yang disebut “gerakan sosial baru.” Sekali lagi, muncul perdebatan tentang bagaimana komposisi sosial dan agenda sosial gerakan ini. Kalangan “reformis” – sering juga disebut “post-modernis” – menekankan “identitas sosial” sebagai lawan dari definisi kelas. Selama periode 1970-1980an, intelektual reformis mengklaim bahwa “identitas” baru, sebagai basis gerakan, telah menggantikan gerakan yang berbasis-kelas. Indentitas baru gerakan itu, misalnya, gerakan yang berbasis ekologi, etnis, feminis dan gerakan gay. Intelektual revolusioner, walaupun tidak menolak kelompok identitas mencatat, perjuangan massa dari gerakan sosial berbasis kelas-etnik, seperti CONAIE di Ekuador, Cocaleros di Bolivia, Zapatista di Meksiko dan gerakan pedesaan berbasis klas di Brazil seperti MST, merupakan kekuatan pendorong bagi perubahan sosial. Kaum intelektual reformis selalu mencatat keuntungan yang terbatas dari perubahan yang dilakukan oleh segelinter “elite” di dalam kelompok “indentitas.” Sebaliknya, gerakan sosial berbasis kelas sangat berhasil dalam merealisasikan beberapa perubahan mendasar dalam menjatuhkan rejim neoliberal, dan memblok undang-undang dan peraturan pemerintah yang merugikan kehidupannya.

MST di Brazil, yang berbasis pada perjuangan kelas, memaksa pendudukan terhadap jutaan hektar tanah dan memindahkan 350 ribu keluarga (lebih dari 1,3 juta orang) ke sektor pertanian. CONAIE sukses menjatuhkan dua presiden neo-liberal; pekerja pengangguran dan kelas menengah yang dimiskinkan di Argentinga, berhasil memaksa presiden Fernanado De La Rua untuk keluar dari istana; buruh dan gerakan petani di Bolivia, juga sukses menjatuhkan presiden Sanchez de Losada dalam mempertahankan industri perminyakan negeri itu.

Politik Elektoral dan Kiri-Tengah

Perdebatan di kalangan intelektual reformis dan intelektual revolusioner kian menajam, khususnya bersangkut dengan strategi “jalan elektoral atau jalan revolusioner menuju kekuasaan politik dan perubahan sosial.” Sebagian terbesar intelektual reformis dan dan lebih banyak lagi intelektual “revolusioner,” mendukung kandidat dari kiri-tengah yang terlibat dalam pemilu. Misalnya, rejim Alejandro Celestino Toledo Manrique di Peru, Lucio Edwin Gutiérrez Borbúa di Ekuador, Luiz Inácio Lula da Silva di Brazil, Tabaré Ramón Vázquez Rosas di Uruguay dan Néstor Carlos Kirchner Ostoic di Argentina, sebagai intrumen reform sosial. Sebagian kecil intelelektual revolusioner, menolak para politisi itu. Mereka berpendapat, para politisi tersebut dan partainya memang tidak terlalu jauh dari kiri tetapi, telah bergerak ke kanan dan mengadposi IMF, neoliberalisme dan ALCA.

Para intelektual reformis memengaruhi para pemimpin gerakan sosial dan massa pendukungnya, untuk mendukung politisi-politisi kiri-tengah. Sementara, para intelektual kiri-revolusioner sangat sedikit dan tidak memiliki pengaruh ketika pemilu dilangsungkan dan sesudahnya. Hasilnya, kini telah kita saksikan: Lula, Gutierrez, Toledo dan mereka yang mendaur-ulang kekirian, telah berbalik menjadi seorang neoliberal yang memperdalam dan memperluas privatisasi, mempromosikan perluasan agro-bisnis di atas penderitaan petani skala kecil dan buruh tuna-tanah, memindahkan ratusan miliar dollar ke bank-bank internasional, menyetujui undang-undang ketenagakerjaan yang memasung buruh dan hak pensiunnya, dan mempromosikan penghisapan Amazon di atas penderitaan masyarakat adat. Konsekuensi dari strategi intelektual reformis yang mendukung “kiri-tengah,” adalah hancurnya gerakan sosial. Di Ekuador, serikat buruh minyak di tindas, CONAIE kehilangan dukungan dari anggota-anggota terpercayanya ketika para pemimpinnya berhasil dikooptasi oleh Gutierrez. Di Brazil, MST mengalami disorientasi politik, menderita represi dan terusir dari tanah yang telah didudukinya. Di Uruguay, rejim Vazquez mengikuti petunjuk-petunjuk IMF, mendukung investasi asing dari pencemar-pencemar besar (perusahaan selulosa), dan memaksakan upah umum yang “terbatas” terhadap serikat buruh. Semua itu bisa terjadi, karena kebijakan rejim kiri-tengah ini mengatasnamakan para pemimpin serikat buruh prestisius dan intelektual kiri-reformis yang mendukungnya.

Setelah tahun-tahun penerapan kebijakan brutal neoliberal, banyak dari para intelektual-reformis yang pada dasarnya mendukung partai kiri-tengah yang berkuasa, menjadi kritis terhadap rejim. Tetapi, kritik mereka lebih pada kebijakan-kebijakan rejim yang salah, ketimbang mengikuti kritik sistematik yang dilancarkan intelektual revolusioner. Sementara itu, para intelektual kiri-revolusioner, karena validitas diagnosanya, pengaruhnya semakin meningkat di kalangan sektor-sektor yang sebelumnya terilusi oleh intelektual reformis. Penyelesaian masalah melalui tindakan politik revolusioner bagi perubahan sosial, yang diusung intelektual kiri-revolusioner, mulai memperoleh getarannya pada beberapa sektor gerakan massa. Para pemimpin gerakan massa itu mulai menerima metode perjuangan revolusioner tapi, tidak dengan sendirinya bertujuan revolusioner.

Globalisasi atau Imperialisme

Arena perdebatan keempat antara intelektual reformis dan intelektual revolusioner adalah menyangkut diagnosa mereka mengenai watak dan motor penggerak kapitalisme global. Kaum reformis berbicara tentang globalisasi dan penciptaan sebuah tata dunia baru yang didominasi oleh korporasi-korporasi multinasional (MNC), yang melintasi batas-batas negara. Mereka mengadakan perlawanan terhadap globalisasi ini dengan cara, menggalang pertemuan “raksasa” yang tidak mengandung muatan kelas dalam pertemuan “forum sosial.” Atau menjadi demonstran setia dalam setiap ajang pertemuan yang dilakukan elite-elite internasional.

Intelektual revolusioner berpendapat, gambaran utama dalam epos kita hari ini adalah bangkitnya kekuatan militer imperialis Amerika, yang berhadapan dengan imperialisme Eropa dan Jepang, untuk mengontrol dunia. Kebangkitan militer itu ditandai dengan kebijakan negara imperial yang agresif memelopori perang dan penaklukan kapitalis. Kalangan reformis fokus pada ekspansi ekonomi MNC, tanpa mengantisipasi perang imperialis di Yugoslavia, Afghanistan dan Iraq, intervensi CIA dalam kudeta di Venezuela, dan ancaman perang bergelombang Amerika di Timur Tengah. Sementara itu, kalangan intelektual revolusioner fokus pada sentralitas negara imperial, perang imperial, dan pendudukan kolonial. Bagi kalangan intelektual RL, inilah bukti yang lebih relevan untuk memahami watak dan motor penggerak dunia kontemporer.

Lebih dari itu, analisa kelas dari kalangan intelektual revolusioner lebih berdayaguna sebagai alat untuk memahami watak dari efektivitas perlawanan terhadap imperialisme, ketimbang konsep yang tidak jelas dari “massa.” Gerakan massa pengangguran di Iraq, misalnya, menjadi tulang punggung perlawanan bersenjata terhadap pendudukan kolonial Amerika. Petani, buruh, dan pengangguran di Amerika Latin, menjadi pemimpin dalam mengalahkan klien-klien imperial, dan mencegah privatisasi listrik (Meksiko), air (Bolivia) dan pelabuhan (Uruguai). Sejumlah besar petani-bersenjata melawan imperialisme dan neoliberalisme di Kolumbia, Nepal, dan Filipina. Sekali lagi, ideolog-ideolog reformis globalisasi gagal memberikan diagnosis yang memadai dan aksi-aksi politik yang efektif. Forum Sosial dan pertemuan massa terbukti kehilangan efektivitasnya. Sementara itu, intelektual revolusioner yang fokus pada imperialisme dan perlawanan kelas-nasional, sanggup mendapatkan penerimaan yang luas karena korespondensinya dengan realitas.

Pendekatan konseptual-teoritis yang saling bertentangan antara intelektual revolusioner dan intelektual reformis ini, memberikan pengaruh yang besar pada perjuangan untuk perubahan sosial. Kami telah menunjukkan tipikal pendekatan kalangan reformis yang sangat memengaruhi para pemimpin gerakan massa dan massa ketimbang analisis kiri-revolusioner. Namun demikian, seiring waktu, kami menemukan bahwa diagnosa, deskripsi, prediksi dan praktek intelektual reformis, telah menyebabkan kekacauan ekonomi dan konsekuensi politik yang merusak. Hasilnya, penguatan rejim “neoliberal” baru dan aliansinya dengan imperialisme pada satu sisi, dan disorientasi politik serta terserak-seraknya gerakan sosial di sisi lain.

Sebaliknya, diagnosa dan solusi untuk perubahan sosial yang dikemukakan oleh intelektual kiri-revolusioner, semakin populer di kalangan pemimpin rakyat dan sedikit demi sedikit berdampak pada massa. Semakin hari, pengaruh mereka semakin meningkat, khususnya ketika analisa itu mereka kemukakan kepada gerakan sosial, gerakan akar rumput, dan di kalangan intelektual.

Masalahnya, justru ini kuncinya, beberapa intelektual revolusioner terisolasi dari perjuangan massa. Mereka juga tidak mempunyai akses ke media massa, untuk menyebarkan gagasan-gagasannya. Padahal, telah telah nyata dalam sejarah, perubahan sosial akan tiba jika ada titik hubung antara intelektual revolusioner dan gerakan massa. Ketika saat itu tiba, dibutuhkan perjuangan untuk mengatasi reform-reform mendesak melalui metode kepemimpinan revolusioner, menuju perjuangan untuk kekuasaan negara oleh organisasi kelas yang independen. Hanya rejim revolusionerlah yang mau melakukan perubahan struktural dalam hubungan kepemilikan, struktur kelas, dan negara yang permanen dan berkelanjutan.***

6 Maret, 2005.


Diterjemahkan oleh Coen Husain Pontoh dari judul asli "Role of the Intellectuals in social change," dalam http://www.rebelion.org, Oktober 15, 2005.


Catatan penerjemah:

MST: Movimento dos Trabalhadores Rurais Sem Terra (Portugis), atau Landless Workers Movement (Inggris) atau Gerakan Buruh Pedesaan Tak Bertanah, adalah gerakan sosial terbesar di America Latin. Diperkirakan, anggota organisasi ini mencapai 1.5 juta dan tersebar di 23 dari 27 negara bagian di Brazil.

CONAIE: The Confederation of Indigenous Nationalities of Ecuador (Spanish: El Confederación de Nacionalidades Indígenas del Ecuador), atau Konfederasi Bangsa-bangsa Indian Ekuador, adalah organisasi masyarakat adat terbesar. Didirikan pada 1986, CONAIE bertujuan melakukan perubahan sosial atas nama masyarakat asli di wilayah yang signifikan dengan taktik yang beragam termasuk, aksi langsung.

ALCA: The Free Trade Area of the Americas (FTAA) (Spanish: Área de Libre Comercio de las Américas (ALCA), atau Kawasan Bebas Perdagangan America, adalah kesepakatan bersama untuk menghapuskan atau mengurangi hambatan perdagangan di antara seluruh bangsa-bangsa di benua Amerika (kecuali Kuba, Venezuela dan terakhir Bolivia dan Nikaragua.

Cocaleros: adalah istilah yang merujuk pada petani penanam Coca di Peru dan Bolvia. Evo Morales, yang menjadi presiden Bolivia pada 2006, adalah seorang pemimpin gerakan Cocalero di negaranya.

Zapatista: Merujuk pada The Zapatista Army of National Liberation (EZLN), didirikan pada 1983, adalah organisasi kelompok bersenjata modern di Meksiko. Nama Zapatista diambil dari the Zapatistas of the Mexican Revolution yang dipimpin oleh Emilano Zapata, pada 1910-1919.